WINA (KR) - Obat-obat desainer (designer drugs) akhir-akhir ini diproduksi lebih cepat dan dalam jumlah besar, sehingga menjadi ancaman baru. Obat-obat ini biasanya diproduksi dengan memodifikasi struktur molekul dari senyawa ilegal. Produk-produk obat ini memiliki efek serupa dan mampu lolos dari pengawasan. Sementara cara pembuatannya bisa tersebar melalui Internet.

”Di Eropa 16 obat desainer baru telah dikontrol, sedangkan di Jepang angka ini mencapai 51,” kata Second Vice President and Chair of Standing Committee on Estimates, Internastional Narcotics Control Board (INCB) Dr Sri Suryawati belum lama ini. International Narcotics Control Board atau Dewan Pengawas Narkotika Internasional ini berkedudukan di Wina, Austria. Mengingat ancaman dan risiko kesehatan akibat obat desaigner ini, INCB mendesak pemerintah untuk mengadopsi langkah-langkah pengendalian untuk pembuatan, perdagangan dan penyalahgunaan obat-obat desainer ini. Dr Sri Suryawati, dosen Fakultas Kedokteran (FK) UGM juga mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pencegahan korupsi.

”Dalam pandangan INCB, korupsi menjadi salah satu faktor yang mempermudah terjadinya perdagangan narkoba. Bukan menjadi rahasia umum, keuntungan besar diraup dari pasar narkotika seringkali jauh melebihi sumberdaya keuangan milik negara,” ujar Sri Suryawati menanggapi besarnya jumlah produksi dan peredaran illegal obat-obat desainer ini.

Menurut Sri Suryawati dalam banyak kasus organisasi kriminal dengan kerajaan perdagangan narkoba menjadi kekuatan politik dengan memiliki kekuatan dan wewenang yang mirip institusi resmi. Sebab institusi atau pejabat yang semestinya berwenang mengendalikan dan menekan perdagangan narkoba telah dilemahkan oleh tindakan korupsi. ”Tak jarang penegak hukum sering menghadapi tekanan yang kuat dari kejahatan terorganisir ketika menjalankan tugas menghentikan perdagangan narkoba,” ujarnya.

Ironis, narkotika dan psikotropika legal yang mestinya dibutuhkan untuk medis justru tidak tersedia di seluruh dunia. Data menyebut lebih dari 80 persen populasi dunia hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali terhadap obat-obat pereda nyeri. Jika 90 persen obat yang beredar di pasar dikonsumsi negara-negara Barat. Maka banyak negara di Afrika, Asia dan Benua Amerika justru hanya memiliki sedikit akses. ”Bahkan tidak memiliki akses sama sekali, padahal obat-obat narkotika yang mereka butuhkan untuk tujuan medis,” katanya sambil menambahkan, di samping kurangnya pendidikan di kalangan profesi medis, hambatan regulasi juga menjadi salah satu faktor penyebab beberapa negara kesulitan mendapatkan obat narkotika untuk tujuan medis.

Hambatan lain berupa kesulitan distribusi dan tidak ada kebijakan kesehatan yang komprehensif. ”Karenanya INCB mendesak pemerintah untuk mengambil langkah, dengan mengumpulkan data statistik tentang kebutuhan medis obat narkotika, menyediakan peraturan distribusi kepada pasien dan meningkatkan training untuk staf pelayanan kesehatan,” kata Dr Sri Suryawati. (Asp)

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=236759&actmenu=37

Sumber : Kedaulatan Rakyat