Berita Narkoba (Video)

Jumat, 27 Februari 2009

Publik Figur dan Narkoba (2)

Lagi Lagi Artis Indonesia Ketangkap Karena Narkoba


Pedangdut Imam S Arifin ditangkap Satuan Narkoba Poltabes Medan di pelataran parkir Hotel Pardede di Jalan Juanda Medan, Sabtu (5/4) karena diduga memiliki narkoba jenis shabu-shabu sebanyak 1,6 gram. Penangkapan ini semakin menambah daftar artis yang tersandung kasus narkoba. Kapoltabes Medan Kombes Pol Bambang Sukamto seperti dilansir Antara menjelaskan, penangkapan itu berawal dari kecurigaan petugas terhadap tersangka yang ingin memasuki hotel tersebut.

Ketika akan diperiksa, tersangka yang merupakan artis ibukota itu melakukan perlawanan sehingga dibawa ke Mapoltabes Medan. Dari kantong penyanyi berusia 48 tahun itu polisi menemukan shabu-shabu sebanyak 1,6 gram, bong, aluminium foil dan setengah butir obat kuat merk Viagra. ”Tersangka mengaku melawan petugas ketika akan digeledah karena merasa malu menjadi tontonan orang banyak,” katanya. Bambang menambahkan, Imam S Arifin juga mengaku barang terlarang itu didapatkannya dari KT, pengedar narkoba yang telah lama menjadi langganannya dengan harga Rp 1,2 juta.

Pedangdut itu diminta kembali memesan shabu-shabu sebanyak satu gram yang dipenuhi KT dengan harga Rp 1 juta dan tempat transaksi di Jalan Yos Sudarso Titi Papan Medan Deli. Namun petugas yang menuju lokasi transaksi hanya menemukan Zulham Sahri (37), yang menjadi kurir KT untuk menjual obat terlarang tersebut kepada Imam S Arifin. Melalui Imam S Arifin dan Zulham Sahri, kemudian petugas berupaya untuk mendapatkan foto atau sketsa wajah KT yang telah ditetapkan sebagai daftar pencarian orang. Bambang juga menyatakan penyanyi dangdut itu pernah ditangkap sebanyak tiga kali di Jakarta namun tidak ditahan karena tidak adanya barang bukti.

Pihaknya menahan mobil CRV warna hitam dengan nomor polisi BK 55 QJ yang dikendarai Imam S Arifin sebelum digeledah polisi. Suami penyanyi Nana Mardiana tersebut akan dikenakan Pasal 62 subsider Pasal 60 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Kabar yang beredar menyebutkan keberadaan Imam S Arifin di Kota Medan tersebut untuk memeriahkan kampanye salah satu calon Gubernur Sumut yang sedang berlangsung di daerah itu. Namun Imam S Arifin membantah kabar tersebut dan mengaku telah berada di daerah itu sejak 1 April 2008. ”Kedatangan saya hanya untuk bersilaturahmi dengan keluarga yang tinggal di Medan,” katanya.

Sumber : http://www.matabumi.com/gossip/lagi-lagi-artis-indonesia-ketangkap-karena-narkoba

Senin, 23 Februari 2009

Aset Pabrik Narkoba di Batam Rp 454 Miliar

POLRI menetapkan enam tersangka atas penemuan empat pabrik psikotropika skala besar jenis shabu-shabu di Batam, dalam operasi yang digelar mulai Sabtu (20/10) pekan lalu. Pabrik yang tersebar di empat lokasi di kawasan bisnis Kota Batam itu melibatkan dua tersangka warga asing berkebangsaan Taiwan dengan nilai produknya mencapai Rp 454 miliar.

Kapolri Jenderal Polisi Sutanto, menyatakan keberhasilan ini berkat kerja sama Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), kepolisian internasional, serta dengan perwakilan “Drug Enforcement Administration” (DEA) Singapura, DEA Hong Kong, DEA Taiwan, DEA Australia dan DEA Amerika Serikat.

“Dari hasil pengembangan kasus, tadi pagi (Senin, red) di Pluit, Muara Karang, Jakarta, kepolisian menggerebek satu tempat dan menangkap tersangka Awi dengan barang bukti 40 kg shabu (35 kg+5 kg cair) yang berasal dari sini,” ujar Kapolri yang ditemui wartawan, Senin (22/10) malam lalu di Bandara Hang Nadim, Batam.

Keenam tersangka tersebut yang berstatus warga Negara Taiwan bernama Wang Chin I (52) dan Psai Psai Ceng (53). Sedangkan keempat tersangka yang adalah warga nagara Indonesia bernama Jaelani Usman (28), Darwin Silaban (25),Syaed Abu Bakar (54) dan A Peng (42). ” Satu diantaranya tertangkap lebih dulu dengan membawa 25kg shabu-shabu, Senin (22/10) lalu di Jakarta,” kata Sutanto.

Menurut Kapolri, kedua tersangka yang berkewarganegaraan Taiwan tersebut sengaja didatangkan untuk mengolah shabu-shabu berkwalitas tinggi. Mereka juga mampu meracik shabu-shabu menjadi wangi dan kristal shabu-shabu berkualitas tinggi. “Mereka sangat terlatih dan bagian dari sindikat internasional,” ujarnya.

Penangkapan jaringan ini dilakukan Mabes Polri beserta jajarannya sejak Sabtu (20/10) lalu pukul 23.45 WIB dengan barang bukti 44 drum bahan kimia cair,4,5 ton bahan padat kimia dan 568 kg shabu-shabu senilai Rp 454 Milliar yang dihitung berdasarkan harga per gram shabu-shabu seharga Rp 900.000.

Dari hasil penggerebekan tersebut diketahui pabrik skala besar itu tersebar di berbagai wilayah di Batam. Pabrik pertama berada di kawasan pertokoan niaga Blok E,Sukajadi.Di tempat ini berfungsi sebagai gudang untuk menyimpan bahan kimia. Lokasi kedua beralamat di perumahan Duta Mas Cluster III No.57 yang berfungsi sebagai laboraturium pengolahan shabu-shabu.

Lokasi ketiga bertempat di Kawasan Industri Blok C yang difungsikan sebagai tempat pengeringan shabu-shabu. Tempat terakhir cukup mengejutkan karena berlokasi tidak jauh dari Markas Polda Kepulauan Riau tepatnya berada di Batam Center Kawasan Nagoya.

Negara-negara yang terlibat dalam jaringan Internasional ini adalah Taiwan, China dan Indonesia. Peranan keempat tersangka berkewarga negaraan Indonesia ada yang menjadi pengatur pengiriman barang. Barang-barang tersebut biasanya diedarkan melalui jalur laut dan diperkirakan mereka sudah beroperasi sekitar setahun terakhir.

Kepolisian belum bisa memastikan apakah jaringan shabu-shabu terkait dengan jaringan shabu-shabu di Cikande atau tidak.

Menurut Direktur Narkotika Mabes Polri Brigjen Pol Indradi Thanos, sementara ini kasus itu satu tingkat di bawah kasus pabrik ekstasi di Cikande (2005), Serang, Banten, yang nilainya sekitar Rp1 triliun dan terungkap berkat kerjasama yang erat dan informasi dari DEA.

Operasi di Batam dipimpin Jenderal Bambang Hendarso, katanya. “Tim dua minggu mengamati sasaran, setelah bersama mitra DEA menyusun taktik,” katanya

Direktur Narkotika Mabes Polri mengatakan, sindikat di Batam sejauh ini belum ada kaitan dengan sindikat di Cikande, dan ke Cina daratan dan Taiwan baru bersifat membawa contoh.

Menurut Kepala DEA Singapura Russel Holske, pengungkapan kasus di Batam merupakan salah satu yang terbesar di dunia.

Sumber : (Dianing Mega Sari) Jurnal Nasional

Setelah Bogor, Pabrik Ekstasi di Tanah Abang Digerebek

JAKARTA - Polisi menggerebek sebuah vila mewah di Kampung Pasir Putih RT 009/03, Desa Karya Mekar, Bogor, Jawa Barat. Dari hasi pengembangan, petugas kepolisian Polres dan Polwil Bogor juga menggerebek sebuah bangunan di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Bangunan tersebut diduga juga dijadikan sebagai pabrik pembuatan narkoba. Di lokasi, petugas menemukan dan menyita ribuan pil ekstasi. Saat ini, pabrik tersebut telah disegel oleh petugas.

Sementara di Bogor, petugas mengamankan dua unit senjata api dan lima orang karyawan yang diduga terlibat dalam proses produksi sabu-sabu.

Menurut salah seorang penjaga vila, Sarmin, awalnya dia tidak curiga dengan aktivitas di vila milik Yusuf tersebut. Kecurigaannya mulai muncul saat dia diusir dari vila.

"Setiap Sabtu dan Minggu malam dua unit mobil bak terbuka dan Kijang Innova sering keluar dari pabrik ini," ujarnya, Minggu (22/2/2009).(lam)

(Endang Gunawan/Global/uky)

Sumber : www.okezone.com

SLOGAN HARI ANTI NARKOTIKA INTERNASIONAL (HANI) 2008

1. SEGERA DIREHABILITASI DARIPADA TERBELENGGU NARKOBA SEPANJANG HIDUP ANDA.
2. NARKOBA!!!! LEBIH BAIK MENCEGAH DARIPADA TERBELENGGU.
3. JAUHKAN KELUARGA DARI NAPZA.
4. NARKOBA ???..........NIKMAT SESAAT SENGSARA SEPANJANG HAYAT ………..!!!!!!
5. KELUARGA SEHAT BEBAS NARKOBA.
6. JAGALAH ANAK DAN KELUARGA ANDA SEBELUM TERLANJUR MENYALAHGUNAKAN NAPZA.
7. BANYAK HAL BISA DIKERJAKAN TANPA NARKOTIKA.
8. SIAPA BILANG TANPA NARKOBA KITA TIDAK PERCAYA DIRI.
9. JANGAN KOTORI HIDUPMU DENGAN NARKOTIKA.
10.NARKOBA ?! TIDAK UNTUK DICOBA,
11.LINDUNGI KELUARGA DARI BAHAYA NARKOBA
12. NAPZA BUKAN SOLUSI HANYA KENIKMATAN SESAAT
13. KENAPA MESTI BINGUNG !!! BERHENTI NARKOTIKA SEBELUM TERLAMBAT ….
14. TOLAK NARKOBA SEBELUM CELAKA.
15. JANGAN MALU IKUTI PROGRAM REHABILITASI

Sumber : http://www.depsos.go.id/downloads/slogan_hani2008.pdf

Kamis, 19 Februari 2009

Peta Narkotika di Indonesia








Sumber : http://www.narkoba-metro.org/


Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Psikotropika

UNDANG-UNDANG PSIKOTROPIKA

Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1997
Tentang Psikotropika


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susnan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
  2. Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika.
  3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk psikotropika.
  4. Kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus psikotropika, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak.

BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

  1. Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan.
  2. Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi :
    1. psikotropika golongan I;
    2. psikotropika golongan II;
    3. psikotropika golongan III;
    4. psikotropika golongan IV.
  3. Jenis-jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, psikotropika golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-undang ini, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan.
  4. Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis-jenis psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 3

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :

  1. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
  2. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
  3. memberantas peredaran gelap psikotropika.

Pasal 4

  1. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
  2. Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.
  3. Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang.

BAB III
PRODUKSI

Pasal 5

Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi.

Pasal 7

Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus memenuhi standar dan/atau persyaratan farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.


BAB IV
PEREDARAN

BAGIAN PERTAMA : UMUM

Pasal 8

Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.

Pasal 9

  1. Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
  2. Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat.

Pasal 10

Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan psikotropika.

Pasal 11

Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 12

  1. Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah.
  2. Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh:
    1. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
    2. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lainnya,apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
    3. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan Pemerintah.
  3. Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna Psikotropika.

Pasal 13

Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.

BAGIAN KETIGA : PENYERAHAN

Pasal 14

  1. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
  2. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan kepada pengguna/pasien.
  3. Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
  4. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
  5. Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal:
    1. Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan;
    2. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
    3. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
  6. Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan begi kegiatan penyerahan psikotropika diatur oleh Menteri.


BAB V
EKSPOR DAN IMPOR

BAGIAN PERTAMA : SURAT PERSETUJUAN EKSPOR DAN SURAT PERSETUJUAN IMPOR

Pasal 16

  1. Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
  3. Lembaga penelitian dan/atau pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk mengedarkan psikotropika yang diimpornya.

Pasal 17

  1. Eksporitr psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan kegiatan ekspor psikotropika.
  2. Importir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan kegiatan impor psikotropika.
  3. Surat persetujuan impor psikotropika golongan I hanya dapat diberikan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Pasal 18

  1. Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika, eksportir atau importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri.
  2. Permohonan secara tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengimpor psikotropika.
  3. Menteri menetapkan persyaratan yang wajib dicantumkan dalam permohonan tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika.

Pasal 19

Menteri menyampaikan salinan surat persetujuan impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor psikotropika.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur oleh Menteri.

BAGIAN KEDUA : PENGANGKUTAN

Pasal 21

  1. Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan oleh Menteri.
  2. Setiap pengenkutan impor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor.

Pasal 22

  1. Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
  2. Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor Psikotropika dari pemerintah negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
  3. Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor.
  4. Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang memasuki wilayah Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan ekspor psikotropika dari pemerintah negara pengekspor.

BAGIAN KETIGA : TRANSITO

Pasal 23

  1. Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan ekspor psikotropika yang terlebih dahulu mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor psikotropika.
  2. Surat persetujuan ekspor psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
    1. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor psikotropika;
    2. jenis, bentuk dan jumlah psikotropika; dan
    3. negara tujuan ekspor psikotropika.

Pasal 24

Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito psikotropika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:

  1. pemerintah negara pengekspor psikotropika;
  2. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor psikotropika; dan
  3. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika.

Pasal 25

Pengemasan kembali psikotropika di dalam gudang penyimpanan atau sarana angkutan pada transito psikotropika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat yang berwenang.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan transito psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAGIAN KEEMPAT : PEMERIKSAAN

Pasal 27

Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen ekspor, impor, dan/atau transito psikotropika.

Pasal 28

  1. Importir psikotropika memeriksa psikotropika yang diimpornya, dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri, yang dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya impor psikotropika di perusahaan.
  2. Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor.

BAB VI
LABEL DAN IKLAN

Pasal 29

  1. Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan psikotropika.
  2. Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang dapat berbentuk tulisan, kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.

Pasal 30

  1. Setiap tulisan berupa keterangan yang dicantumkan pada label psikotropika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
  2. Menteri menetapkan persyaratan dan/atau keterangan yang wajib atau dilarang dicantumkan pada label psikotropika.

Pasal 31

  1. Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah farmasi.
  2. Persyaratan materi iklan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB VII
KEBUTUHAN TAHUNAN DAN PELAPORAN

Pasal 32

Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan untuk setiap tahun.

Pasal 33

  1. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
  2. Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaa pembuatan dan penyimpanan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 34

Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara berkala.

Pasal 35

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyusunan rencana kebutuhan tahunan psikotropika dan mengenai pelaporan kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika diatur oleh Menteri.


BAB VIII
PENGGUNA PSIKOTROPIKA DAN REHABILITASI

Pasal 36

  1. Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa psikotropika untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
  2. Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa psikotropika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 37

  1. Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan.
  2. Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.

Pasal 38

Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.

Pasal 39

  1. Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dilaksanakan pada fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
  2. Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
  3. Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

Pemilikan psikotropika dalam jumlah tertentu oleh wisatawan asing atau warga asing yang memasuki wilayah negara Indonesia dapat dilakukan sepanjang digunakan hanya untuk pengobatan dan/atau kepentingan pribadi dan yang bersangkutan harus mempunyai bukti bahwa psikotropika berupa obat dimaksud diperoleh dengan sah.

Pasal 41

Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.


BAB IX
PEMANTAUAN PREKURSOR

BAGIAN PERTAMA : PEMBINAAN

Pasal 45

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika.

Pasal 46

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diarahkan untuk:

  1. terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
  2. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
  3. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
  4. memberantas peredaran gelap psikotropika;
  5. mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan
  6. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.

Pasal 47

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang psikotropika sesuai dengan kepentingan nasional.

Pasal 48

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam membantu pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau mengungkapkan peristiwa tindak pidana di bidang psikotropika.

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pembinaan segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAGIAN KEDUA : PENGAWASAN

Pasal 50

  1. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
  2. Dalam rangka pengawasan, Pemerintah berwenang:
    1. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan contoh pada sarana produksi, penyaluran, pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
    2. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan di bidang psikotropika;
    3. melakukan pengamanan terhadap psikotropika yang tidak memenuhi standar dan persyaratan; dan
    4. melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.
  3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan surat tugas.

Pasal 51

  1. Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rahabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
  2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis;
    3. penghentian sementara kegiatan;
    4. denda administratif;
    5. pencabutan izin praktek.

Pasal 52

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, bentuk pelanggaran dan penerapan sanksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

BAGIAN PERTAMA : PEMBINAAN

Pasal 45

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika.

Pasal 46

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diarahkan untuk:

  1. terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
  2. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
  3. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau bahaya atas terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
  4. memberantas peredaran gelap psikotropika;
  5. mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam kegiatan penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan
  6. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.

Pasal 47

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang psikotropika sesuai dengan kepentingan nasional.

Pasal 48

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah berjasa dalam membantu pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau mengungkapkan peristiwa tindak pidana di bidang psikotropika.

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pembinaan segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAGIAN KEDUA : PENGAWASAN

Pasal 50

  1. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
  2. Dalam rangka pengawasan, Pemerintah berwenang:
    1. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan contoh pada sarana produksi, penyaluran, pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
    2. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan di bidang psikotropika;
    3. melakukan pengamanan terhadap psikotropika yang tidak memenuhi standar dan persyaratan; dan
    4. melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.
  3. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan surat tugas.

Pasal 51

  1. Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rahabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
  2. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis;
    3. penghentian sementara kegiatan;
    4. denda administratif;
    5. pencabutan izin praktek.

Pasal 52

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, bentuk pelanggaran dan penerapan sanksinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
PEMUSNAHAN

Pasal 53

  1. Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal:
    1. berhubungan dengan tindak pidana;
    2. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika;
    3. kadaluwarsa;
    4. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
  2. Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud:
    1. pada ayat (1) butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pejabat yang mewakili departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan ditambah pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidan tersebut, dalam waktu tujuh hari setelah mendapat kekuatan hukum tetap;
    2. pada ayat (1) butir a, khusus golongan I, wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan; dan
    3. pada ayat (1) butir b, butir c, dan butir d dilakukan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran psikotropika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga pendidikan dan/atau lembaga penelitian dengan disaksikan oleh pejabat departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah mendapat kepastian sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut.
  3. Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemusnahan psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 54

  1. Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
  2. Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.
  3. Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak yang berwenang.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
PENYIDIKAN

Pasal 55

Selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), penyidik polisi negara Republik Indonesia dapat:

  1. melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung;
  2. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan;
  3. menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 56

  1. Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu diberi wewnang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
  2. Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang psikotropika;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang psikotropika;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang psikotropika;
    4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang psikotropika;
    5. melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti yang disita dalam perkara tindak pidana di bidang psikotropika;
    6. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang psikotropika;
    7. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan;
    8. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang psikotropika;
    9. menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.
  3. Hal-hal yang belum diatur dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, terutama mengenai tata cara penyidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 57

  1. Di depan pengadilan, sanksi dan/ orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat terungkap identitas pelapor.
  2. Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberikan peringatan terlebih dahulu kepda saksi dan/ orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana psikotropika, untuk tidak menyebut identitas pelapor, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 58

Perkara psikotropika termasuk perkara yang lebih didahulukan dari pada perkara yang lain intuk diajukan ke pengadilan guna pemeriksaan dan penyelesaian secepatnya.


BAB XIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 59

  1. Barang siapa:
    1. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau
    2. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
    3. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3); atau
    4. mengimpor psikotropika golongan I selain kepentingan ilmu pengetahuan; atau
    5. secara tanpa hak milik, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika golongan I.

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
  3. Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 60

  1. Barang siapa:
    1. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
    2. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam benruk obat yang tidak memenuhi standar dan/ atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
    3. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat ayng tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  2. Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  3. Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
  4. Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), pasal 14 ayat (2), pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan dipidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
  5. Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) , dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 61

  1. Barangsiapa:
    1. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditantukan dalam Pasal 16, atau
    2. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
    3. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (4);

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

  2. Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggung jawab atau pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 62

Barangsiapa yang secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/ atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 63

  1. Barangsiapa:
    1. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
    2. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
    3. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam juta rupiah).

  2. Barangsiapa:
    1. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
    2. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
    3. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1); atau
    4. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3);

    dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 64

Barangsiapa:

  1. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantuan untuk menjalani pengobatan dan/ atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
  2. menyelenggarakan fasilitas rehabilitas yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3);

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 65

Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/ atau pemilikan psikotropika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 66

Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 67

  1. Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah selesai menjalani hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran ke luar wilayah Republik Indonesia.
  2. Warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat kembali ke Indonesia setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.

Pasal 68

Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan.

Pasal 69

Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan.

Pasal 70

Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan ijin usaha.

Pasal 71

  1. Barangsiapa bersekongkol atau sepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan dan mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
  2. Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Pasal 72

Jika tindak pidana Psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang dibawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidanya yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.


BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 73

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur psikotropika masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.


BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 74

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 10


Sumber : dikutip dari http://www.narkoba-metro.org/uunarkoba
/data_isiuunarkotik2.html


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Tentang NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG NARKOTIKA

Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1997
Tentang Narkotika


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
  2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/ atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat.
  3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.
  4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
  5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
  6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
  7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
  8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara moda, atau sarana angkutan apapun.
  9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.
  10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
  11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan satu atau tanpa berganti sarana angkutan.
  12. Pecandu adalah orang yang menggunakan menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
  13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
  14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
  15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotik.
  16. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
  17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.
  18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.
  19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.

BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2

  1. Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.
  2. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:
    1. Narkotika Golongan I;
    2. Narkotika Golongan II; dan
    3. Narkotika Golongan III.
  3. Penggolongajustifyn narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 3

Pengaturan narkotika bertujuan untuk:

  1. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
  2. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
  3. memberantas peredaran gelap narkotika.

Pasal 4

Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 5

Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.

  1. Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.
  2. Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi:
    1. Narkotika Golongan I;
    2. Narkotika Golongan II; dan
    3. Narkotika Golongan III.
  3. Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

BAB III
PENGADAAN

BAGIAN PERTAMA : RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN

Pasal 6

  1. Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
  2. Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.
  3. Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 7

  1. Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
  2. Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.

BAGIAN KEDUA : PRODUKSI

Pasal 8

  1. Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses narkotika.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 9

  1. Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/ataupenggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

BAGIAN KETIGA : NARKOTIKA UNTUK ILMU PENGETAHUAN

Pasal 10

  1. Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan, ketrampilan, dan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Swasta, yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menenm, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

BAGIAN KEEMPAT : PENYIMPANGAN DAN PELAPORAN

Pasal 11

  1. Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.
  2. Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaaanya.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
  4. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan berupa:
    1. teguran;
    2. peringatan;
    3. denda administratif;
    4. penghentian sementara kegiatan; atau
    5. pencabutan izin.

BAB IV
IMPOR DAN EKSPOR

BAGIAN PERTAMA : SURAT PERSETUJUAN IMPOR DAN SURAT PERSETUJUAN EKSPOR

Pasal 12

  1. Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
  2. Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.

Pasal 13

  1. Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari Menteri Kesehatan.
  2. Surat Persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
  3. Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.

Pasal 14

Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.

Pasal 15

  1. Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
  2. Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.

Pasal 16

  1. Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan.
  2. Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.

Pasal 17

Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.

Pasal 18

Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.

Pasal 19

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

BAGIAN KEDUA : PENGANGKUTAN

Pasal 20

Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan undang-undang ini.

Pasal 21

  1. Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
  2. Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.

Pasal 22

Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.

Pasal 23

  1. Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
  2. Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
  3. Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.

Pasal 24

  1. Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
  2. Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.
  3. Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
  4. Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
  5. Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.

Pasal 25

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.

BAGIAN KETIGA : TRANSITO

Pasal 26

  1. Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
  2. Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
    1. nama dan alat pengekspor dan pengimpor narkotika;
    2. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
    3. negara tujuan ekspor narkotika.

Pasal 27

Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari:

  1. pemerintah negara pengekspor narkotika;
  2. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika; dan
  3. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.

Pasal 28

Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 29

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAGIAN KEEMPAT : PEMERIKSAAN

Pasal 30

Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapandokumen impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.

Pasal 31

  1. Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.
  2. Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.

BAB V
PEREDARAN

BAGIAN PERTAMA : UMUM

Pasal 32

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 33

  1. Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
  2. Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan tanpa wajib daftar pada Departemen Kesehatan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi dan peredaran narkotika yang berupa bahan baku diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 34

Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

BAGIAN KEDUA : PENYALURAN

Pasal 35

  1. Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah dapat melakukan kegiatan penyaluran narkotika berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini.
  2. Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri Kesehatan.

Pasal 36

  1. Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
  2. Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
    1. eksportir;
    2. pedagang besar farmasi tertentu;
    3. apotek;
    4. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
    5. rumah sakit; dan
    6. lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
  3. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
    1. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
    2. apotek;
    3. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
    4. rumah sakit;
    5. lembaga ilmu pengetahuan; dan
    6. eksportir.
  4. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada:
    1. rumah sakit pemerintah;
    2. puskesmas; dan
    3. balai pengobatan pemerintah tertentu.

Pasal 37

Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 38

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyaluran narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

BAGIAN KETIGA : PENYERAHAN

Pasal 39

  1. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
    1. apotek;
    2. rumah sakit;
    3. puskesmas;
    4. balai pengobatan; dan
    5. dokter.
  2. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada:
    1. rumah sakit;
    2. puskesmas;
    3. apotek lainnya;
    4. balai pengobatan;
    5. dokter; dan
    6. pasien
  3. Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
  4. Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal:
    1. menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan;
    2. menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan; atau
    3. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
  5. Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat diperoleh dari apotek.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.


BAB VI
LABEL DAN PUBLIKASI

Pasal 41

  1. Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika.
  2. Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalan ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupkan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
  3. Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.

Pasal 42

Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

Pasal 43

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara publikasi dan pencantuman label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan


BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI

Pasal 44

  1. Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika.
  2. Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.

Pasal 45

Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.

Pasal 46

  1. Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
  2. Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
  3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 47

  1. Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
    1. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
    2. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
  2. Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Pasal 48

  1. Pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.
  2. Rehabilitasi meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 49

  1. Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
  2. Atau dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika.
  3. Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

Pasal 50

Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Meneteri Sosial.

Pasal 51
  1. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Keputusan Menteri Sosial.

BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

BAGIAN PERTAMA : PEMBINAAN

Pasal 52

  1. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
  2. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya:
    1. memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
    2. mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
    3. mencegah pelibatan anak di bawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
    4. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang narkotika guna kepentingan pelayanan kesehatan; dan
    5. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Pasal 53

Pemerintah mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.

Pasal 54

  1. Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
  2. Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
  3. Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan Keputusan Presiden.

BAGIAN KEDUA : PENGAWASAN

Pasal 55

  1. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

  1. Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam pengendalian dan pengawasan terhadap importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, dan lembaga rehabilitasi medis.
  2. Petugas yang melaksanakan pengawasan, dilengkapi dengan surat tugas.
  3. Dalam hal diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini, Menteri Kesehatan berwenang mengenakan sanksi administratif dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
  4. Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, sanksi administratif dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditangguhkan untuk sementara.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 57

  1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
  2. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
  3. Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

Pasal 58

Pemerintah memberi penghargaan kepada anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah


BAB X
PEMUSNAHAN

Pasal 60

Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:

  1. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
  2. kadaluarsa;
  3. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau
  4. berkaitan dengan tindak pidana.

Pasal 61

  1. Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
  2. Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
    1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan
    3. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksanan dan pejabat yang memyaksikan pemusnahan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 62

  1. Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang sitaan;
    2. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.
  2. Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.
  3. Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
    1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;
    3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
    4. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
  4. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

BAB XI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 63

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Pasal 64

Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.

Pasal 65

  1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kepada Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi masalah narkotika dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana narkotika.
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana narkotika;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana narkotika;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana narkotika;
    4. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti perkara tindak pidana narkotika;
    5. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana narkotika;
    6. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan tindak pidana narkotika; dan
    7. menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan tindak pidana narkotika.

Pasal 66

  1. Penyidik berwenang untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya, yang diduga keras mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang sedang dalam penyidikan.
  2. Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.
  3. Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 67

  1. Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana narkotika untuk paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
  2. Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penengkapan tersebut untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam.

Pasal 68

Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung.

Pasal 69

  1. Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika, atau yang diduga narkotika, atau yang mengandung narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
    1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
    3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
    4. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
  2. Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, penyidik wajib memberitahukan atau menyerahkan barang sitaan tersebut kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acara disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
  3. Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
  4. Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang menerima penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat;
    1. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan barang sitaan oleh penyidik;
    3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika;
    4. identitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima barang sitaan.
  5. Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
  6. Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan.
  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan sampel serta pemeriksaan di laboratorium diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
  8. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan narkotika yang disita ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 70

  1. Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dari penyidik, selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan narkotika tersebut untuk kepentingan pemngembangan ilmu pengetahuan, dan/atau dimusnahkan.
  2. Barang sitaan narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
  3. Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal ayat (1) huruf a.
  4. Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan Keputusan Jaksa Agung.

Pasal 71

  1. Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia wajib memusnahkan tanaman narkotika yang diketemukan selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sejak saat diketemukan, setelah sebagian disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
  2. Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
    1. nama, jenis, sifat dan jumlah;
    2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun diketemukan dan dilakukan pemusnahan;
    3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman narkotika; dan
    4. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak-pihak lain yang menyaksikan pemusnahan.
  3. Bagian narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk kepentingan pembuktian atau diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.

Pasal 72

Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.

Pasal 73

  1. Apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 74

Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan setiap orang atau badan yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.

Pasal 75

Dalam hal tertentu, hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan setiap orang atau badan, bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa.

Pasal 76

  1. Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak perkara narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
  2. Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 77

  1. Narkotika dan alat yang digunakan di dalam tindak pidana narkotika atau yang menyangkut narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
  2. Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagimana dimaksud dalam ayat (1) segera dimusnahkan, kecuali sebagian atau seluruhnya ditetapkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
  3. Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, maka pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
  4. Tata cara pemusnahan dan pemanfaatan dan narkotika, alat dan hasil dari tindak pidana narkotika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 78

  1. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
    1. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau
    2. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan , atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman,
    dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
  3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
  4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 79

  1. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
    1. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
    2. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau mnguasai narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) .
  2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
    2. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
  3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah;
    2. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
  4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 80

  1. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
    1. memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 ( dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
    2. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
    3. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah).
  2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun, dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 ( empat ratus juta rupiah);
  3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
  4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 81

  1. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
    1. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
    2. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
    3. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah).
  2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasai, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasai, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasai, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
  4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Pasal 82

  1. Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
    1. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak RP. 1.000.000.000,00 (satu miyar rupiah);
    2. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, arau menukar narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda sebanyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
    3. mengimppor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau tukar menukar narkotika Golongan III, dipidana pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda sebanyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
  2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidanan sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana matiatau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
  3. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
    1. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
    2. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisir, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
    3. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
  4. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
    1. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
    2. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi. dipidana denda paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
    3. ayat (10 huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 83

Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika, sebagaimana diatur dalam Pasal 78, 79,80, 81, dan Pasal 82, diancam dengan pidana yang sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal tersebut.

Pasal 84

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:

  1. menggunakan narkotika terhadap orang lain dan memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidanan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
  2. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
  3. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 85

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:

  1. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
  2. menggunakan narkotika Golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
  3. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 86

  1. Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
  2. Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.

Pasal 87

Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 88

  1. Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
  2. Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 89

Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 90

Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.

Pasal 91

Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebihdari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92

Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 93

Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 atau Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 94

  1. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 95

Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 96

Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 97

Barang siapa melakukan tindak pidana narkotioka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan undang-undang ini.

Pasal 98

  1. Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
  2. Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
  3. Warga negara asing yangpernah melakukan tindak pidana narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.

Pasal 99

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), bagi:

  1. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotik, dan dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
  2. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,. membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
  3. pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
  4. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan Iyang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 100

Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 101

  1. Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
  2. Prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan keputusan Menteri Kesehatan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan dan pengawasan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 102

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaandari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) pada saat Undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.


BAB XV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 103

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 104

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan perundang undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO



Sumber : Dikutip dari http://www.narkoba-metro.org/uunarkoba
/data_isiuunarkotik1.html#bab2